A. Pengertian
Qira’at dan Macam-Macamnya
Secara etimologis, lafal qira’at
merupakan bentuk masdar dari qara’a[1]
yang artinya bacaan. Sedangkan secara terminologi qira’at berarti
cara mengucapkan lafal-lafal Al-Qur’an sebagaimana yang diucapkan Nabi SAW,
atau sebagaimana yang diucapkan oleh para Sahabat di hadapan Nabi, lalu Nabi
mentaqrirkannya (membenarkannya).[2]
Prof. Dr. H. Abdul Djalal HA.
Membagi qiraat menjadi beberapa criteria antara lain dari segi pembacanya, para
perawi dan dari segi nama jenis.[3] Qira’ah
ditinjau dari segi pembacanya (qurra’) ada tiga yaitu:
1.
Qira’ah Sab’ah, yang disandarkan pada
Imam tujuh ahli qira’ah. Para Imam yang termasuk dalam Qira’ah Sab’ah
adalah: Nafi’ bin Abdurrahman, Asim bin Abi Najud Al-Asadi, Hamzah bin Habib
At-Taimi, Ibnu “amir Al-Yasubi, Abdullah Ibnu Katsir, Abu ‘Amr Ibnul ‘A’la, dan
Abu ‘Ali Al-Kisa’i.
2.
Qira’ah ‘Asyrah, yang disandarkan kepada
sepuluh Ahli Qira’ah, yaitu tujuh orang pada Qira’ah Sab’ah
ditambah Abu Ja’far Yazid Ibnul Qa’qa’, Abu Muhammad Ya’qub bin Ishaq
Al-Hazari, dan Abu Muhammad Khalaf bin Hisham Al-A’mash.
3.
Qira’ah Arba’a ‘Asyrata, yang disandarkan
kepada empat belas Ahli Qira’ah, yaitu sepuluh orang pada Qira’ah ‘Asyrah
ditambah Hasan Al-Bashri, Ibnu Muhaish, Yahya Ibnul Mubarak Al-Yazidi, dan Abul
Faraj Ibnu Ahmad Al-Shambudi.
Qira’ah
ditinjau dari segi perawi ada enam yaitu:
1.
Qira’ah Mutawatirah
2.
Qira’ah Masyhurah
3.
Qira’ah Ahad
4.
Qira’ah Shadh
5.
Qira’ah Mauzu’
6.
Qira’ah Mudraj
Qira’ah
ditinjau dari segi nama jenis ada empat yaitu:
1.
Qira’ah
2.
Riwayat, nama bacaan yang hanya berasal
dari salah seorang perawinya sendiri.
3.
Tariq, nama untuk bacaan yang sanadnya
terdiri dari orang-orang yang sesudah perawinya sendiri.
4.
Wajah, nama untk bacaan yang berdasarkan
pilihan pembacanya sendiri.
B. Syarat Diterima
dan Metode Penyampaian Qira’ah
Dengan banyaknya periwayatan
dalam qira’ah, maka ada beberapa syarat agar qiraah tersebut shahih dan dapat
dibaca oleh umat. Syarat-syarat tersebut antara lain sebagai berikut:[4]
1.
Qira’ah tersebut harus sesuai dengan
kaidah-kaidah Bahasa Arab.
2.
Sanad dari riwayat yang menceritakan
qiraah-qiraah tersebut harus shahih.
3.
Bacaan yang diterapkan adalah bacaan yang cocok
dengan Mushaf Usmani.
Menurut Dr. Muhammad bin Alawi
Al-Maliki bahwa di kalangan ahli hadis ada beberapa periwayatan atau
penyampaian qira’ah diantaranya:[5]
1.
Mendengar langsung dari guru.
2.
Membacakan teks atau hafalan di depan guru.
3.
Melalui ijazah dari guru kepada murid.
4.
Guru memberikan sebuah naskah asli kepada
muridnya atau salinan yang dikoreksinya untuk diriwayatkan.
5.
Guru menuliskan sesuatu untuk diberikan kepada
muridnya.
6.
Wasiat dari guru kepada murid-muridnya.
7.
Pemberitahuan tentang qira’ah tertentu.
8.
Hasil temuan.
C. Sebab
Terjadinya Perbedaan Qira’at
Para ulama berbeda pendapat mengenai
penyebab perbedaan qira’at, mereka berpendapat perbedaan qira’at
Al-Qur’an disebabkan antara lain oleh:[6]
1.
Perbedaan qira’at Nabi Muhammad.
2.
Adanya taqrir atau pengakuan Nabi
terhadap berbagai qira’at yang berlaku di kalangan kaum muslim waktu
itu.
3.
Berbedanya qira’at yang diturunkan oleh
Allah kepada Nabi melalui perantaraan Malaikat Jibril.
4.
Adanya riwayat dari para Sahabat Nabi menyagkut
berbagai versi qira’at yang ada.
5.
Adanya perbedan lahjat atau dialek
kebahasaan di kalangan bangsa Arab.
6.
Merupakan hasil ijtihad para imam qira’at.
D. Faedah
Adanya Macam-Macam Qira’ah yang Shahih
Dari pembahasan di atas
diketahui ada beberapa qira’ah yang shahih yang dapat dibaca dan
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Perbedaan dari beberapa qiraah yang
shahih tadi mengandung beberapa faedah diantaranya:[7]
1.
Menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah sebuah kitab
yang terjaga kemurniannya meskipun metode membacanya mempunyai beragam cara.
2.
Memberi kemudahan kepada umat untuk membaca dan
mempelajarinya sesuai metode yang mereka anggap mudah.
3.
Menunjukkan keagungan dan kemukjizatan
Al-Qur’an.
4.
Menunjukkan adanya kemungkinan bacaan yang
berlainan dalam satu lafadz/ kata, sehingga dapat dibaca dengan cara yang
berbeda-beda.
[1]
Manna’ Al-Qattan, Mabahit fi ‘Ulumil Qur’an, t.k., t.p., t.t., h.170
[2]
Dra. Liliek Chana AW, M.Ag. & H. Syaiful Hidayat,Lc, M.Hl. Ulum
Al-Qur’an dan Pembahasannya, Surabaya: Kopertais IV Press, 2014, h.397
[3]
Prof. Dr. H. Abdul Djalal HA, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 1988,
h.334
[4]
Ibid., h.332
[5]
Muhammad Alwi Al-Maliki, Zubdah Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an, Bandung:
Pustaka Setia, 1999, h.52
[6]
Dra. Liliek Chana AW, M.Ag. & H. Syaiful Hidayat,Lc, M.Hl. Ulum
Al-Qur’an dan Pembahasannya, Surabaya: Kopertais IV Press, 2014, h.410-411
No comments:
Post a Comment
Please feels free to send us feedback. Thank You