Setiap kegiatan dan tindakan yang dilakukan untuk mencapai suatu
tujuan harus mempunyai dasar atau landasan yang baik dan kuat. Demikian juga
dengan proses kegiatan pendidikan, sebagai suatu aktivitas yang bergerak dalam
bidang pembinaan kepribadian, tentunya pendidikan pada umumnya dan pendidikan
Islam pada khususnya memerlukan landasan kerja yang berfungsi sebagai pegangan dalam
pelaksanaan dan sebagai jalur langkah yang menentukan arah usaha tersebut. Maka
tentunya pendidikan Islam memerlukan landasan kerja atau bisa disebut dengan
dasar pendidikan, untuk memberikan arah bagi setiap program-program yang
dilaksanakan.
A. Dasar Ideal Pendidikan Islam
Dasar
dapat diartikan sebagai fondasi atau landasan untuk berdirinya sesuatu, dasar
merupakan tempat untuk tegak dan berpijaknya sesuatu agar dapat berdiri kokoh.
Fungsi dasar ialah memberikan arah pada tujuan yang akan dicapai. Dasar ideal
pendidikan Islam adalah dasar rujukan dimana didalamnya terdapat sumber-sumber
ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang akan diterapkan dalam pendidikan Islam.
Dasar ini tentunya telah diyakini kebenaran dan kekuatannya dalam mengantar
aktivitas pendidikan dan telah teruji dari waktu ke waktu[1]. Dasar ideal pendidikan Islam meliputi Al-Qur’an,
Hadis dan hasil dari ijtihad para ulama yang berupa Ijma’, Qiyas, Istihsan, Mashalihul Mursalah, Sudud Dzariah, Istishab,
dan Urf. Dasar-dasar tersebut
ditetapkan sebagai dasar pendidikan Islam karena didalamnya terdapat nilai kebenaran
yang didasarkan pada keimanan dan juga kebenaran tersebut dapat diterima oleh akal
manusia dan telah digunakan dalam sejarah pendidikan Islam.
Semua
ruang lingkup kehidupan yang terdapat dalam ajaran Islam berlandaskan
kepada kedua sumber pokok, yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Seiring dengan
perkembangan dan perubahan zaman, maka para ulama melakukan pengembangan dan
penjelasan tentang hal-hal yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis ataupun
tentang hal-hal yang tidak terdapat pada keduanya, baik dalam bentuk ijma,
qiyas, tafsir yang benar dalam bentuk hasil pemikiran yang menyeluruh dan
terpadu; tentang jagat raya, manusia, masyarakat dan bangsa, pengetahuan
kemanusiaan, dan akhlak dengan merujuk kepada sumber asal (Al-Qur’an dan Hadis)
sebagai sumber utama.
Al-Qur’an sebagai
dasar ideal pendidikan Islam memiliki kedudukan tertinggi dan menjadi dasar rujukan
pertama diatas Hadis. Hal ini dikarenakan Al-Qur’an merupakan firman Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., diriwayatkan kepada umat Islam secara mutawatir, membacanya bernilai sebagai
ibadah, dan salah satu fungsinya sebagai mukjizat atau melemahkan para lawan
yang menentangnya.[2] Sementara
itu Hadis menempati urutan kedua sebagai dasar pendidikan Islam, dimana Hadis
memiliki fungsi sebagai penjelas dari apa yang ada dalam Al-Qur’an agar manusia
lebih memahami tentang penjelasan yang tertuang dalam Al-Qur’an.
1.
Al – Qur’an
Islam
melalui Al-Qur’an mempunyai objek keyakinan yang jelas dimana dengan memahami
Al-Qur’an manusia akan menemukan sebuah kenyataan sebagai sebuah bahan
perenungan serta menjadikan manusia mengetahui pengetahuan tentang kekuasaan
dan kebesaran Allah sesuai dengan fitrah manusia. Ketika seseorang merenungkan ayat-ayat
yang terdapat dalam Al-Qur’an, maka ia akan menemukan sebuah kenyataan bahwa
Al-Qur’an menjadikan dirinya sebagai bahan renungan sehingga ia mampu melihat
bagaimana Allah menciptakan dirinya dari segumpal darah, mengajarinya membaca,
menulis, atau mendayagunakan alam semesta dan dapat dididik.
Nilai esensi dalam Al-Qur’an selamanya
abadi dan selalu relevan pada setiap waktu dan zaman, tanpa ada perubahan sama
sekali. Perubahan dimungkinkan hanya menyangkut masalah interpretasi mengenai
nilai-nilai instrumental dan menyangkut masalah teknik operasional . Pendidikan
Islam yang ideal harus sepenuhnya mengacu pada nilai dasar Al-Qur’an, tanpa
sedikitpun menghindarinya.[3]
Hal itu diperlukan karena Al-Qur’an diantaranya memuat tentang sejarah
pendidikan Islam dan nilai-nilai normatif dalam pendidikan Islam.
Di dalam Al-Qur’an disebutkan
beberapa kisah nabi dan orang shalih yang berkaitan dengan pendidikan. Kisah
ini dapat menjadi teladan bagi peserta didik dalam menjalani kehidupan ini.
Kisah tersebut diantaranya terdapat pada Surat Al-Baqarah: 30-31, dimana
didalamnya terdapat kisah Nabi Adam sebagai manusia pertama yang merintis
proses pengajaran (ta'lim) pada anak
cucunya tentang asma’ (nama-nama)
benda. Kemudian Surat Luqman:12-19, dimana mengisahkan tentang Luqman Al-Hakim
yang selalu mengajarkan dasar-dasar filosofi pendidikan kepada anak-anaknya,
tidak menyekutukan Allah SWT, tetap bersyukur kepada-Nya, berbuat sopan santun
pada orang tua, mengajarkan yang baik dan meninggalkan yang buruk, selalu
bersabar, hidup bersahaja dan tidak menyombongkan diri.
Al-Qur’an memuat nilai normatif yang
menjadi acuan dalam pendidikan Islam. Menurut Wahbah Zuhaili dalam Ushul al-Fiqh al-Islami[4]
menjelaskan nilai yang dimaksud terdiri atas tiga pilar utama yaitu :
1. I’tiqadiyyah, nilai-nilai
ini berkaitan dengan pendidikan keimanan, seperti percaya kepada Allah,
malaikat, rasul, kitab, hari akhir dan takdir, yang bertujuan untuk menata
kepercayaan individu.
2. Khuluqiyyah, nilai-nilai ini berkaitan dengan
pendidikan etika, yang bertujuan untuk membersihkan diri dari perilaku rendah
dan menghiasi diri dengan perilaku terpuji.
3. Amaliyyah, niai-nilai ini berkaitan dengan
pendidikan tingkah laku sehari-hari, baik yang berhubungan dengan pendidikan
ibadah maupun pendidikan muamalah.
2.
As-Sunnah
Secara bahasa As-Sunnah dapat
diartikan sebagai jalan yang dilalui, atau tradisi yang bisa dilakukan baik
yang terpuji maupun yang tercela. Masjfuk Zuhdi berpendapat bahwa As-Sunnah
adalah segala sesuatu yang dinukilkan kepada Nabi Muhammad SAW berupa
perkataan, perbuatan, ketetapan ataupun selain dari itu.[5]
As-Sunnah juga meliputi sifat-sifat baik, keadaan serta cita-cita Nabi Muhammad
SAW.
Al-Qur’an menekankan bahwa Rasul SAW
berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (Q.S An-Nahl: 44). Penjelasan
atau bayan tersebut dalam pandangan
sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk serta fungsinya. ‘Abdul Halim Mahmud,
dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatika wa
fi Tarikhiha menulis bahwa sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan
Al-Qur’an dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’. Dengan menunjuk pendapat Al-Syafi’i dalam Al-Risalah, Abdul Halim menegaskan
bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Qur’an, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak
diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta’kid dan bayan tafsir. Pertama, sekedar menguatkan atau menggarisbawahi
kembali apa yang terdapat didalam Al-Qur’an, sedangkan yang kedua memperjelas,
merinci, bahkan membatasi pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Qur’an[6].
Berdasarkan kedua fungsi As-Sunnah
diatas maka dalam pendidikan Islam as-Sunnah selain mampu menguatkan konsep
pendidikan Islam sesuai dengan yang terdapat dalam Al-Qur’an juga sekaligus
memperjelas apa yang terdapat dalam Al-Qur’an. As-Sunnah juga dapat digunakan
sebagai contoh dalam penentuan metode pendidikan Islam, misalnya tentang
perilaku Nabi SAW yang tercermin sebagai uswah hasanah yang dapat dijadikan
figur atau suri tauladan (QS. Al-Ahzab: 21), karena perilakunya dijaga oleh
Allah SWT (QS. An-Najm: 3-4), sehingga beliau tidak pernah berbuat maksiat[7].
3.
Ijtihad
Secara bahasa ijtihad berarti
pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Yaitu penggunaan akal
sekuat mungkin untuk menemukan suatu keputusan hukum tertentu yang tidak
ditetapkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Hadis[8].
Para fuqaha mengartikan ijtihad dengan berfikir menggunakan seluruh ilmu yang
dimiliki oleh ilmuan syari’ah Islam, dalam hal-hal yang belum ditegaskan
hukumnya oleh Al-Qur’an dan Hadis dengan syarat-syarat tertentu.
Para
ahli hukum Islam merumuskan cara dan metode yang mereka gunakan dalam
berijtihad. Ada beberapa macam metode yang mereka gunakan dalam berijtihad
antara lain yaitu: Ijma’, Qiyas,
Istihsan, Mashalihul Mursalah, Sudud Dzariah, Istishab, dan Urf [9].
1.
Ijma’,
menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut
istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi Muhammad Saw sesudah
beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara
bermusyawarah. Hasil dari ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para
ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
2.
Qiyas,
yaitu berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya. Qiyas dapat
diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan
perkara lain yang mempunyai pokok permasalahan atau sebab akibat yang sama.
3.
Istihsan,
yaitu suatu proses perpindahan dari suatu qiyas kepada qiyas yang lainnya yang
lebih kuat atau mengganti argument dengan fakta yang dapat diterima untuk
mencegah kemudharatan. Istihsan dapat diartikan pula sebagai usaha menetapkan
hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan.
4.
Mashalihul
Mursalah, menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Menurut
istilah mashalihul mursalah berarti perkara-perkara yang perlu dilakukan demi
kemashlahatan manusia.
5.
Sudud
Dzariyah, menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan
menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau
haram demi kepentingan umat.
6.
Istihsab,
yaitu
melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu
sampai ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut.
7.
Urf,
yaitu
perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun
perbuatan.
B. Dasar Operasional Pendidikan
Islam
Dasar operasional merupakan pengejawantahan dari
dasar ideal, dasar operasional digunakan untuk merealisasikan dasar ideal/sumber
pendidikan Islam. Menurut Hasan Langgulung[10],
dasar operasional pendidikan Islam ada enam macam, yaitu historis, sosiologis,
ekonomi, politik dan administrasi, psikologis, dan filosofis. Dalam Islam,
dasar operasional segala sesuatu adalah agama, sebab agama menjadi frame bagi setiap aktivitas yang
bernuansa keislaman[11].
Dengan agama, semua aktivitas pendidikan menjadi bermakana, dan bernilai
ibadah. Oleh karena itu, perlu ditambahkan dasar agama sebagai dasar
operasional pendidikan Islam ketujuh.
1. Dasar
Historis
Dasar
historis merupakan dasar yang berorientasi pada pengalaman pendidikan yang
terjadi pada masa lalu, baik dalam bentuk undang-undang maupun
peraturan-peraturan, agar kebijakan yang ditempuh pada masa kini akan lebih
baik. Dasar ini juga dapat dijadikan acuan untuk memprediksi masa depan, karena
dasar ini memberi data input tentang kelebihan dan kekurangan kebijakan serta
maju mundurnya prestasi pendidikan yang telah ditempuh. Misalnya, bangsa Arab
memiliki kegemaran untuk bersastra, maka pendidikan sastra di Arab menjadi
penting dalam kurikulum masa kini. Sebab, sastra selain menjadi identitas dan
potensi akademik bagi bangsa Arab juga sebagai sumber perekat bangsa.
2. Dasar
Sosiologis
Dasar
sosiologis merupakan dasar yang memberikan sebuah kerangka sosiobudaya, yang
mana dengan sosiobudaya itu pendidikan dilaksanakan. Dasar ini juga berfungsi
sebagai tolok ukur dalam prestasi belajar. Artinya, tinggi rendahnya suatu
pendidikan dapat diukur dari tingkat relevansi output pendidikan dengan
kebutuhan dan keinginan masyarakat. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang
tidak kehilangan konteks atau tercerabut dari akar masyarakatnya. Prestasi
pendidikan hampir tidak berguna jika prestasi itu merusak tatanan masyarakat.
Demikian juga, masyarakat yang baik akan menyelenggarakan format pendidikan
yang baik pula.
3. Dasar
Ekonomi
Dasar
ekonomi memberikan perspektif tentang potensi-potensi finansial, mengatur dan
menggali sumber-sumber serta bertanggung jawab terhadap rencana dan anggaran
pembelanjaannya. Oleh karena pendidikan dianggap sebagai sesuatu yang luhur,
maka sumber-sumber finansial dalam menghidupkan pendidikan harus bersih, suci
dan tidak bercampur dengan harta benda yang syubhat.
4. Dasar
Politik dan Administratif
Dasar
politik dan administrasi merupakan dasar yang memberikan bingkai ideologis,
yang digunakan sebagai tempat bertolak untuk mencapai tujuan yang
dicita-citakan dan direncanakan bersama. Dasar politik menjadi penting untuk
pemerataan pendidikan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, Dasar ini
juga berguna untuk menentukan kebijakan umum (ammah) dalam rangka
mencapai kemaslahatan bersama, bukan kemaslahatan hanya untuk golongan atau
kelompok tertentu. Sementara dasar administrasi berguna untuk memudahkan
pelayanan pendidikan, agar pendidikan dapat berjalan dengan lancar tanpa ada
gangguan teknis dalam pelaksanaannya.
5. Dasar
Psikologis
Dasar
psikologis merupakan dasar yang memberikan informasi tentang bakat, minat,
watak, karakter, motivasi dan inovasi peserta didik, pendidik, tenaga
administrasi, serta sumber daya manusia yang lain. Dasar ini berguna juga untuk
mengetahui tingkat kepuasan dan kesejahteraan batiniah pelaku pendidikan, agar
mereka mampu meningkatkan prestasi dan kompetisi dengan cara yang baik dan
sehat. Dasar ini pula yang memberikan suasana batin yang damai, tenang, dan
indah di lingkungan pendidikan, meskipun dalam kedamaian dan ketenangan itu senantiasa
terjadi dinamika dan gerak cepat untuk lebih maju bagi pengembangan lembaga
pendidikan.
6. Dasar
Filosofis
Dasar
filosofis memberi arah suatu sistem,,memberi kemampuan memilih yang terbaik,
mengontrol dan memberi arah kepada semua dasar-dasar operasional lainnya, Bagi
masyarakat sekuler dasar ini menjadi acuan terpenting dalam pendidikan. Sebab,
filsafat bagi mereka merupakan induk dari segala dasar pendidikan. Sementara
bagi masyarakat religius, seperti masyarakat Muslim, dasar ini sekadar menjadi
bagian dan cara berpikir di bidang pendidikan secara sistemik, radikal, dan
universal yang asas-asasnya diturunkan dan nilai ilahiyah.
7. Dasar Agama
Dasar agama diturunkan
dari ajaran agama Islam yang telah dijelaskan dalam sumber-sumber pendidikan
Islam meliputi Al-Qur’an, As-Sunnah dan hasil ijtihad para ulama. Semua
kegiatan menjadi bermakna dengan adanya dasar agama, konstruksi agama
membutuhkan aktualisasi dalam berbagai dasar pendidikan yang lain, seperti
historis, sosiologis, politik dan administratif, ekonomi, psikologis dan
filosofis. Aplikasi dasar-dasar yang lain merupakan bentuk realisasi diri yang
bersumberkan dari agama, sehigga semua kegiatan pendidikan dapat dianggap
sebagai suatu ibadah.
Download file makalah lengkap disini 👉
Download file presentasi disini
Download file makalah lengkap disini 👉
Download file presentasi disini
[1]Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah,
2010), h. 31.
[2] Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta,
Kencana: 2006), h. 32.
[3] Ibid, h. 33.
[4] Wahbah Zuhaili, dalam Abdul
Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta, Kencana: 2006), h. 36.
[5] Masjfuk Zuhdi, dalam Abdul
Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta, Kencana: 2006), h. 38.
[6] M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur’an, (Bandung, Mizan:
2007), h. 122.
[7] Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta,
Kencana: 2006), h. 32.
[8] Abdul Chalik, Ali Hasan
Siswanto, Pengantar Studi Islam, (Surabaya,
Kopertais Press, 2014), h. 176.
[9] Ibid., h. 177.
[10] Hasan Langgulung, dalam Bukhari
Umar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Amzah, 2010), h. 46.
No comments:
Post a Comment
Please feels free to send us feedback. Thank You