* * * SELAMAT DATANG * * * SELAMAT MEMBACA * * *

Wednesday, 4 January 2017

Dasar Pendidikan Islam



Setiap kegiatan dan tindakan yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan harus mempunyai dasar atau landasan yang baik dan kuat. Demikian juga dengan proses kegiatan pendidikan, sebagai suatu aktivitas yang bergerak dalam bidang pembinaan kepribadian, tentunya pendidikan pada umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya memerlukan landasan kerja yang berfungsi sebagai pegangan dalam pelaksanaan dan sebagai jalur langkah yang menentukan arah usaha tersebut. Maka tentunya pendidikan Islam memerlukan landasan kerja atau bisa disebut dengan dasar pendidikan, untuk memberikan arah bagi setiap program-program yang dilaksanakan. 
A.     Dasar Ideal Pendidikan Islam
Dasar dapat diartikan sebagai fondasi atau landasan untuk berdirinya sesuatu, dasar merupakan tempat untuk tegak dan berpijaknya sesuatu agar dapat berdiri kokoh. Fungsi dasar ialah memberikan arah pada tujuan yang akan dicapai. Dasar ideal pendidikan Islam adalah dasar rujukan dimana didalamnya terdapat sumber-sumber ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang akan diterapkan dalam pendidikan Islam. Dasar ini tentunya telah diyakini kebenaran dan kekuatannya dalam mengantar aktivitas pendidikan dan telah teruji dari waktu ke waktu[1].  Dasar ideal pendidikan Islam meliputi Al-Qur’an, Hadis dan hasil dari ijtihad para ulama yang berupa Ijma’, Qiyas, Istihsan, Mashalihul Mursalah, Sudud Dzariah, Istishab, dan Urf. Dasar-dasar tersebut ditetapkan sebagai dasar pendidikan Islam karena didalamnya terdapat nilai kebenaran yang didasarkan pada keimanan dan juga kebenaran tersebut dapat diterima oleh akal manusia dan telah digunakan dalam sejarah pendidikan Islam.
Semua ruang lingkup kehidupan yang terdapat dalam ajaran Islam berlandaskan  kepada kedua sumber pokok, yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, maka para ulama melakukan pengembangan dan penjelasan tentang hal-hal yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis ataupun tentang hal-hal yang tidak terdapat pada keduanya, baik dalam bentuk  ijma, qiyas, tafsir yang benar dalam bentuk hasil pemikiran yang menyeluruh dan terpadu; tentang jagat raya, manusia, masyarakat dan bangsa, pengetahuan kemanusiaan, dan akhlak dengan merujuk kepada sumber asal (Al-Qur’an dan Hadis) sebagai sumber utama.
Al-Qur’an sebagai dasar ideal pendidikan Islam memiliki kedudukan tertinggi dan menjadi dasar rujukan pertama diatas Hadis. Hal ini dikarenakan Al-Qur’an merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., diriwayatkan kepada umat Islam secara mutawatir, membacanya bernilai sebagai ibadah, dan salah satu fungsinya sebagai mukjizat atau melemahkan para lawan yang menentangnya.[2] Sementara itu Hadis menempati urutan kedua sebagai dasar pendidikan Islam, dimana Hadis memiliki fungsi sebagai penjelas dari apa yang ada dalam Al-Qur’an agar manusia lebih memahami tentang penjelasan yang tertuang dalam Al-Qur’an.
1.         Al – Qur’an
        Islam melalui Al-Qur’an mempunyai objek keyakinan yang jelas dimana dengan memahami Al-Qur’an manusia akan menemukan sebuah kenyataan sebagai sebuah bahan perenungan serta menjadikan manusia mengetahui pengetahuan tentang kekuasaan dan kebesaran Allah sesuai dengan fitrah manusia. Ketika seseorang merenungkan ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an, maka ia akan menemukan sebuah kenyataan bahwa Al-Qur’an menjadikan dirinya sebagai bahan renungan sehingga ia mampu melihat bagaimana Allah menciptakan dirinya dari segumpal darah, mengajarinya membaca, menulis, atau mendayagunakan alam semesta dan dapat dididik.
Nilai esensi dalam Al-Qur’an selamanya abadi dan selalu relevan pada setiap waktu dan zaman, tanpa ada perubahan sama sekali. Perubahan dimungkinkan hanya menyangkut masalah interpretasi mengenai nilai-nilai instrumental dan menyangkut masalah teknik operasional . Pendidikan Islam yang ideal harus sepenuhnya mengacu pada nilai dasar Al-Qur’an, tanpa sedikitpun menghindarinya.[3] Hal itu diperlukan karena Al-Qur’an diantaranya memuat tentang sejarah pendidikan Islam dan nilai-nilai normatif dalam pendidikan Islam.
Di dalam Al-Qur’an disebutkan beberapa kisah nabi dan orang shalih yang berkaitan dengan pendidikan. Kisah ini dapat menjadi teladan bagi peserta didik dalam menjalani kehidupan ini. Kisah tersebut diantaranya terdapat pada Surat Al-Baqarah: 30-31, dimana didalamnya terdapat kisah Nabi Adam sebagai manusia pertama yang merintis proses pengajaran (ta'lim) pada anak cucunya tentang asma’ (nama-nama) benda. Kemudian Surat Luqman:12-19, dimana mengisahkan tentang Luqman Al-Hakim yang selalu mengajarkan dasar-dasar filosofi pendidikan kepada anak-anaknya, tidak menyekutukan Allah SWT, tetap bersyukur kepada-Nya, berbuat sopan santun pada orang tua, mengajarkan yang baik dan meninggalkan yang buruk, selalu bersabar, hidup bersahaja dan tidak menyombongkan diri.
Al-Qur’an memuat nilai normatif yang menjadi acuan dalam pendidikan Islam. Menurut Wahbah Zuhaili dalam Ushul al-Fiqh al-Islami[4] menjelaskan nilai yang dimaksud terdiri atas tiga pilar utama yaitu :
1. I’tiqadiyyah, nilai-nilai ini berkaitan dengan pendidikan keimanan, seperti percaya kepada Allah, malaikat, rasul, kitab, hari akhir dan takdir, yang bertujuan untuk menata kepercayaan individu.
2. Khuluqiyyah, nilai-nilai ini berkaitan dengan pendidikan etika, yang bertujuan untuk membersihkan diri dari perilaku rendah dan menghiasi diri dengan perilaku terpuji.
3. Amaliyyah, niai-nilai ini berkaitan dengan pendidikan tingkah laku sehari-hari, baik yang berhubungan dengan pendidikan ibadah maupun pendidikan muamalah.   
2.         As-Sunnah
Secara bahasa As-Sunnah dapat diartikan sebagai jalan yang dilalui, atau tradisi yang bisa dilakukan baik yang terpuji maupun yang tercela. Masjfuk Zuhdi berpendapat bahwa As-Sunnah adalah segala sesuatu yang dinukilkan kepada Nabi Muhammad SAW berupa perkataan, perbuatan, ketetapan ataupun selain dari itu.[5] As-Sunnah juga meliputi sifat-sifat baik, keadaan serta cita-cita Nabi Muhammad SAW. 
Al-Qur’an menekankan bahwa Rasul SAW berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (Q.S An-Nahl: 44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk serta fungsinya. ‘Abdul Halim Mahmud, dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatika wa fi Tarikhiha menulis bahwa sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Qur’an dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’. Dengan menunjuk pendapat Al-Syafi’i dalam Al-Risalah, Abdul Halim menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Qur’an, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta’kid dan bayan tafsir. Pertama, sekedar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat didalam Al-Qur’an, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Qur’an[6].
Berdasarkan kedua fungsi As-Sunnah diatas maka dalam pendidikan Islam as-Sunnah selain mampu menguatkan konsep pendidikan Islam sesuai dengan yang terdapat dalam Al-Qur’an juga sekaligus memperjelas apa yang terdapat dalam Al-Qur’an. As-Sunnah juga dapat digunakan sebagai contoh dalam penentuan metode pendidikan Islam, misalnya tentang perilaku Nabi SAW yang tercermin sebagai uswah hasanah yang dapat dijadikan figur atau suri tauladan (QS. Al-Ahzab: 21), karena perilakunya dijaga oleh Allah SWT (QS. An-Najm: 3-4), sehingga beliau tidak pernah berbuat maksiat[7].
3.         Ijtihad
Secara bahasa ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan suatu keputusan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Hadis[8]. Para fuqaha mengartikan ijtihad dengan berfikir menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuan syari’ah Islam, dalam hal-hal yang belum ditegaskan hukumnya oleh Al-Qur’an dan Hadis dengan syarat-syarat tertentu.
Para ahli hukum Islam merumuskan cara dan metode yang mereka gunakan dalam berijtihad. Ada beberapa macam metode yang mereka gunakan dalam berijtihad antara lain yaitu: Ijma’, Qiyas, Istihsan, Mashalihul Mursalah, Sudud Dzariah, Istishab, dan Urf [9]. 
1.         Ijma’, menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi Muhammad Saw sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara bermusyawarah. Hasil dari ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
2.         Qiyas, yaitu berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya. Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok permasalahan atau sebab akibat yang sama.
3.         Istihsan, yaitu suatu proses perpindahan dari suatu qiyas kepada qiyas yang lainnya yang lebih kuat atau mengganti argument dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan. Istihsan dapat diartikan pula sebagai usaha menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan.
4.         Mashalihul Mursalah, menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Menurut istilah mashalihul mursalah berarti perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemashlahatan manusia.
5.         Sudud Dzariyah, menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.
6.         Istihsab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu sampai ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut.
7.         Urf, yaitu perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan.

B. Dasar Operasional Pendidikan Islam
Dasar operasional merupakan pengejawantahan dari dasar ideal, dasar operasional digunakan untuk merealisasikan dasar ideal/sumber pendidikan Islam. Menurut Hasan Langgulung[10], dasar operasional pendidikan Islam ada enam macam, yaitu historis, sosiologis, ekonomi, politik dan administrasi, psikologis, dan filosofis. Dalam Islam, dasar operasional segala sesuatu adalah agama, sebab agama menjadi frame bagi setiap aktivitas yang bernuansa keislaman[11]. Dengan agama, semua aktivitas pendidikan menjadi bermakana, dan bernilai ibadah. Oleh karena itu, perlu ditambahkan dasar agama sebagai dasar operasional pendidikan Islam ketujuh.
1.      Dasar Historis
Dasar historis merupakan dasar yang berorientasi pada pengalaman pendidikan yang terjadi pada masa lalu, baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan-peraturan, agar kebijakan yang ditempuh pada masa kini akan lebih baik. Dasar ini juga dapat dijadikan acuan untuk memprediksi masa depan, karena dasar ini memberi data input tentang kelebihan dan kekurangan kebijakan serta maju mundurnya prestasi pendidikan yang telah ditempuh. Misalnya, bangsa Arab memiliki kegemaran untuk bersastra, maka pendidikan sastra di Arab menjadi penting dalam kurikulum masa kini. Sebab, sastra selain menjadi identitas dan potensi akademik bagi bangsa Arab juga sebagai sumber perekat bangsa.
2.      Dasar Sosiologis
Dasar sosiologis merupakan dasar yang memberikan sebuah kerangka sosiobudaya, yang mana dengan sosiobudaya itu pendidikan dilaksanakan. Dasar ini juga berfungsi sebagai tolok ukur dalam prestasi belajar. Artinya, tinggi rendahnya suatu pendidikan dapat diukur dari tingkat relevansi output pendidikan dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak kehilangan konteks atau tercerabut dari akar masyarakatnya. Prestasi pendidikan hampir tidak berguna jika prestasi itu merusak tatanan masyarakat. Demikian juga, masyarakat yang baik akan menyelenggarakan format pendidikan yang baik pula.
3.   Dasar Ekonomi
Dasar ekonomi memberikan perspektif tentang potensi-potensi finansial, mengatur dan menggali sumber-sumber serta bertanggung jawab terhadap rencana dan anggaran pembelanjaannya. Oleh karena pendidikan dianggap sebagai sesuatu yang luhur, maka sumber-sumber finansial dalam menghidupkan pendidikan harus bersih, suci dan tidak bercampur dengan harta benda yang syubhat.
4.   Dasar Politik dan Administratif
Dasar politik dan administrasi merupakan dasar yang memberikan bingkai ideologis, yang digunakan sebagai tempat bertolak untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan dan direncanakan bersama. Dasar politik menjadi penting untuk pemerataan pendidikan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, Dasar ini juga berguna untuk menentukan kebijakan umum (ammah) dalam rangka mencapai kemaslahatan bersama, bukan kemaslahatan hanya untuk golongan atau kelompok tertentu. Sementara dasar administrasi berguna untuk memudahkan pelayanan pendidikan, agar pendidikan dapat berjalan dengan lancar tanpa ada gangguan teknis dalam pelaksanaannya.
5.   Dasar Psikologis
Dasar psikologis merupakan dasar yang memberikan informasi tentang bakat, minat, watak, karakter, motivasi dan inovasi peserta didik, pendidik, tenaga administrasi, serta sumber daya manusia yang lain. Dasar ini berguna juga untuk mengetahui tingkat kepuasan dan kesejahteraan batiniah pelaku pendidikan, agar mereka mampu meningkatkan prestasi dan kompetisi dengan cara yang baik dan sehat. Dasar ini pula yang memberikan suasana batin yang damai, tenang, dan indah di lingkungan pendidikan, meskipun dalam kedamaian dan ketenangan itu senantiasa terjadi dinamika dan gerak cepat untuk lebih maju bagi pengembangan lembaga pendidikan.
6.   Dasar Filosofis
Dasar filosofis memberi arah suatu sistem,,memberi kemampuan memilih yang terbaik, mengontrol dan memberi arah kepada semua dasar-dasar operasional lainnya, Bagi masyarakat sekuler dasar ini menjadi acuan terpenting dalam pendidikan. Sebab, filsafat bagi mereka merupakan induk dari segala dasar pendidikan. Sementara bagi masyarakat religius, seperti masyarakat Muslim, dasar ini sekadar menjadi bagian dan cara berpikir di bidang pendidikan secara sistemik, radikal, dan universal yang asas-asasnya diturunkan dan nilai ilahiyah.
7.   Dasar Agama
Dasar agama diturunkan dari ajaran agama Islam yang telah dijelaskan dalam sumber-sumber pendidikan Islam meliputi Al-Qur’an, As-Sunnah dan hasil ijtihad para ulama. Semua kegiatan menjadi bermakna dengan adanya dasar agama, konstruksi agama membutuhkan aktualisasi dalam berbagai dasar pendidikan yang lain, seperti historis, sosiologis, politik dan administratif, ekonomi, psikologis dan filosofis. Aplikasi dasar-dasar yang lain merupakan bentuk realisasi diri yang bersumberkan dari agama, sehigga semua kegiatan pendidikan dapat dianggap sebagai suatu ibadah.

Download file makalah lengkap disini 👉 
Download file presentasi disini




[1]Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 31. 
[2] Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta, Kencana: 2006), h. 32.
[3] Ibid, h. 33.
[4] Wahbah Zuhaili, dalam Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta, Kencana: 2006), h. 36.
[5] Masjfuk Zuhdi, dalam Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta, Kencana: 2006), h. 38.
[6] M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur’an, (Bandung, Mizan: 2007), h. 122.
[7] Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta, Kencana: 2006), h. 32.
[8] Abdul Chalik, Ali Hasan Siswanto, Pengantar Studi Islam, (Surabaya, Kopertais Press, 2014), h. 176.
[9] Ibid., h. 177.
[10] Hasan Langgulung, dalam Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 46. 
[11] Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 46. 

No comments:

Post a Comment

Please feels free to send us feedback. Thank You