* * * SELAMAT DATANG * * * SELAMAT MEMBACA * * *

Wednesday, 4 January 2017

Ijtihad




Bagi setiap muslim, segala apa yang dilakukan dalam kehidupannya harus sesuai dengan kehendak Allah SWT, sebagai realisasi dari keimanan kepada-NYa. Kehendak Allah tersebut dapat ditemukan dalam kumpulan wahyu yang disampaikan melalui Nabi-Nya (Al-Qur’an) dan penjelasan yang diberikan oleh Nabi Muhammad mengenai wahyu Allah tersebut (Sunnah).
Sejak diturunkan ajaran Islam sampai wafatnya Nabi Muhammad SAW, Islam telah tumbuh dan berkembang melalui ijtihad yang dituntut oleh perubahan situasi dan kondisi sosial yang tumbuh dan berkembang pula. Para ahli hukum Islam menggunakan ijtihad untuk menetapkan hukum karena didalam Al-Qur’an dan Hadits banyak mengandung arti umum, sehingga ijtihad ini terasa sekali kebutuhannya setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW dan tersebarnya Islam  ke luar tanah Arab.  

A.     Pengertian Ijtihad
Ijtihad diambil dari akar kata dalam bahasa Arab jahada yang berarti kesungguhan atau kesanggupan. Secara bahasa ijtihad dapat diartikan sebagai pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan suatu keputusan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah (Chalik & Siswanto, 2014 : 176). Banyak rumusan yang diberikan mengenai definisi ijtihad, tetapi satu sama lainnya tidak mengandung perbedaan yang prinsip, masing-masing saling menguatkan dan menyempurnakan. Diantara definisi tersebut adalah :
1.      Imam As-Syaukani dalam kitabnya Irsyad al-Fuhuli memberikan definisi bahwa ijtihad adalah mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syar’i yang bersifat amali melalui cara istinbath (mengeluarkan sesuatu dari dalam kandungan lafaz).
2.      Ibnu Subki memberikan definisi ijtihad sebagai pengerahan kemampuan seorang faqih untuk menghasilkan dugaan kuat tentang hukum syar’i.
3.      Saifuddin Al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam menyempurnakan dua definisi sebelumnya bahwa ijtihad adalah pengerahan kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat tentang sesuatu dari hukum syara’ dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih dari itu.
Penambahan definisi al-Amidi tersebut mengandung arti bahwa pengerahan kemampuan tersebut dilakukan secara maksimal, dengan demikian pengerahan kemampuan secara sembrono, asal-asalan atau sekedarnya saja tidak dinamakan ijtihad. Dari menganalisa ketiga definisi diatas dan membandingkannya maka dapat diambil hakikat dari ijtihad itu sebagai berikut:
1.      Ijtihad adalah pengerahan daya nalar secara maksimal.
2.      Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu dibidang keilmuan yang disebut faqih.
3.      Produk atau yang diperoleh dari usaha ijtihad itu adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara’ yang bersifat amaliah.
4.      Usaha ijtihad ditempuh melalui cara-cara istinbath. (Syarifuddin, 2001 : 226)

B.     Macam-macam Ijtihad
Para ahli hukum Islam merumuskan cara dan metode yang mereka gunakan dalam berijtihad. Ada beberapa macam metode yang mereka gunakan dalam berijtihad antara lain yaitu: Ijma’, Qiyas, Istihsan, Mashalihul Mursalah, Sudud Dzariah, Istishab, dan Urf. 
1.      Ijma’, menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi Muhammad Saw sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara bermusyawarah. Hasil dari ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
2.      Qiyas, yaitu berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya. Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok permasalahan atau sebab akibat yang sama.
3.      Istihsan, yaitu suatu proses perpindahan dari suatu qiyas kepada qiyas yang lainnya yang lebih kuat atau mengganti argument dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan. Istihsan dapat diartikan pula sebagai usaha menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan.
4.      Mashalihul Mursalah, menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Menurut istilah mashalihul mursalah berarti perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemashlahatan manusia.
5.      Sudud Dzariyah, menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.
6.      Istihsab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu sampai ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut.
7.      Urf, yaitu perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan.

C.    Metode-metode Ijtihad
C.1. Qiyas = Reasoning by Analogy
Dalam menetapkan suatu hukum terhadap suatu hal yang belum diterangkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dapat dilakukan dengan menggunakan analogi terhadap sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh Al-Qur’an atau As-Sunnah, karena ada sebab yang sama. Diantara contohnya adalah larangan berkata uf dan larangan membentaknya pada Qur’an surat Al Isra ayat 23. Dalam ayat tersebut terdapat dua larangan untuk berkata uf dan larangan untuk membentaknya. Ulama berpendapat bahwa yang inti dari larangan berkata uf dan larangan membentak adalah menyakiti. Oleh karena itu setiap perbuatan yang menyakiti orang tua dilarang Allah. Diantara perbuatan yang dapat menyakiti orang tua adalah memukulnya. Memukul orang tua lebih menyakiti disbanding berkata uf atau membentak. (Mubarok, 2002).
C.2 Ijma’ = Consensus = Ijtihad Kolektif
Ijma’ merupakan kesepakan ulama Islam dalam menentukan suatu masalah ijtihadiyah. Salah satu latar belakang yang mendasari ijma adalah ketika Ali bin Abi Thalib mengemukakan kepada Rasulullah tentang kemungkinan adanya suatu masalah yang tidak dibicarakan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka Rasulullah mengatakan : “Kumpulkan orang-orang yang berilmu kemudian jadikan persoalan itu sebagai bahan musyawarah”.
C.3. Istihsan = Preference
Dalam istihsan penetapan suatu hukum terhadap suatu persoalan ijtihadiyah dilakukan atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran islam seperti keadilan, kasih sayang dan lain-lain. Para Ulama menyebut istihsan sebagai qiyas khofi (analogi samar-samar) atau disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh dengn qiyas hukum lain atas pertimbangan kemaslahatan umum. Diantara contohnya adalah Jika seseorang mewakafkan sebidang tanah, berdasarkan penggunaan istihsan, hal itu sudah termasuk didalamnya hak pemanfaatan air minum dan hak jalan. Berdasarkan istihsan, yang dimaksud dengan wakaf adalah pemanfaatan barang yang diwakafkan oleh pihak penerima wakaf. Jadi, perwakafan dalam teori istihsan disamakan dengan sewa menyewa, yang illahnya mengacu pada perolehan manfaat. (Haq, 2007: 246)
C.4. Mashalihul Mursalah = Utility
Dalam penerapannya, mashalihul mursalah menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syari’at yang tidak ditemukan hukumnya baik dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, maupun dalam ijma’. Contoh : Pengumpulan Al-Qur’an dan penulisannya dalam satu mushaf yang tidak pernah dilakukan di masa Rasulullah. Dasar pelaksanaannya adalah mashlahah, yakni demi terpeliharanya Al-Qur’an agar nilai mutawatirnya tidak berkurang akibat wafatnya para sahabat. (Haq, 2007: 246)     

D.    Kedudukan Ijtihad
Ijtihad sebagai sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1.      Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut, karena ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relative maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.
2.      Suatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad mungkin berlaku bagi seseorang/masa/tempat tapi tidak berlaku bagi orang/masa/tempat lain.
3.      Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah, karena urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.
4.      Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
5.      Dalam proses ijtihad hendaknya dipertimbangkan factor-faktor motifasi, akibat, kemashlahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa ajaran Islam.

Download file makalah lengkap disini

No comments:

Post a Comment

Please feels free to send us feedback. Thank You